Dentuman bom ikan setidaknya lima kali mendebarkan jantung saya selama penyelaman pertama di Kepulauan Spermonde, Sulawesi. Dan ini berulang setiap kali menyelam, selalu saja ada terdengar dentuman bom. Ternyata praktek illegal fishing dan destructive fishing di kawasan ini masih saja terjadi. Apa boleh dikata, karena memang sistem pengawasan di daerah ini masih sangat minim. Bahkan bisa dikatakan tidak ada. Terdapat lebih dari 150 buah pulau tersebar di daerah ini, yang tentunya juga memang akan memakan biaya yang sangat besar untuk patroli dan keamanan. Ironis memang sebagai negara bahari. Jejak bom memang masih sangat kental disini, terlihat dari puing-puing terumbu berserakan di dasar lautan.
Pun terumbu karang Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia tertinggi di dunia. Namun juga ironisnya, Indonesia juga termasuk daerah yang terumbu karangnya yang paling terancam di dunia. Dari hasil pemantauan LIPI pada tahun 1999, terdata hanya sekitar 6 persen terumbu karang yang masih dalam kondisi yang baik.
Ancaman dan kerusakan
Sebenarnya ekosistem terumbu karang mempunyai sifat kelenturan dan ketahanan yang tinggi, terlihat dari kemampuannya bertahan di muka bumi ini selama lebih dari ratusan juta tahun. Namun, apabila tekanan yang terjadi sekarang ini dapat menimbulkan kematian dan kepunahan. Dikategorikan dua jenis ancaman terhadap terumbu karang, yakni ancaman manusia (anthropogenik) dan ancaman alam. Tapi sepertinya ancaman manusia lebih berbahaya dibandingkan dengan alam. Perkembangan yang sangat pesat di daerah pesisir sangat mengancam kondisi terumbu karang. Terlebih lagi belum adanya sistem pengelolaan secara menyeluruh di daerah pesisir.
Phenomena alam yang paling umum menimbulkan kerusakan pada terumbu karang antara lain badai, angina puyuh, tsunami, El Nino (kemarau panjang), efek rumah kaca (green house effect), ekspose terhadap udara (aerial exposure), perubahan iklim (climate change). Sedangkan ancaman dari manusia adalah pertumbuhan dan perkembangan manusia di wilayayh pesisir. Peningkatan pertumbuhan dan perkembangan penduduk ini mengakibatkan meningkatnya masukan material dari sungai (run-off). Masukan dari sungai ini kemungkinan besar membawa beberapa bahan seperti sedimen dalam jumlah besar akibat pembukaan lahan; unsur hara berlebih dari pertanian (pupuk, pestisida, insektisida), limbah rumah tangga, pasar dan industri.
Terumbu karang juga mendapat ancaman dari perahu dan kapal-kapal yang melintas di kawasan ini. Kapal-kapal tanker sering membuang air cucian kapal (ballast) ke kawasan ini pada saat mereka melintas. Demikian pula dengan kapal komersial lainnya yang sering membuang oli-oli bekas ke perairan. Hal lain adalah pembuangan jangkar yang dilakukan baik oleh kapal ikan, kapal wisata dan kapal-kapal lainnya.
Wisatawan-pun seringkali menimbulkan kerusakan pada terumbu karang. Pada rataan terumbu (reef flat) wisatawan akan menginjak-injak terumbu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk memanfaatkan rataan terumbu pada saat kondisi surut (low tide) bagi wisatawan. Khusus bagi penyelam pemula seringkali tidak dapat mengontrol kaki mereka, sehingga menendang dan mematahkan karang. Oleh karena itu dianjurkan bagi pemula untuk menyelam di area yang terbuka dan didominasi oleh pasir dan karang mati/rubble. Dan banyak sekali wisatawan yang mengambil terumbu karang atau biota lainnya sebagai souvenir. Sebagai wisatawan yang baik kita seharusnya berprinsip: take only pictures, leave only bubbles!
Destructive fishing
Seiring dengan meningkatnya populasi manusia, maka eksploitasi sumberdaya pesisir dan lautan pun juga meningkat, dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini mengakibatkan over-fishing disebagian besar kawasan pesisir Indonesia. Adanya penurunan stok ikan di perairan, yang diikuti oleh peningkatan permintaan pasar, maka mendorong nelayan untuk mencari dan memakai alternatif alat penangkapan yang mampu meningkatkan hasil tangkapan tanpa harus mengeluarkan effort tambahan, meskipun harus menghadapi resiko tinggi. Alat tangkap yang merusak sumberdaya perairan seperti jaring dengan ukuran mata jaring (mesh size) sangat kecil sehingga juvenil ikanpun dapat tertangkap; penggunaan bahan beracun dan peledak, penggunaan jarring pukat harimau (trawl) di daerah pesisir dan masih banyak teknik yang berkembang lainnya.
Alat-alat ini bukan hanya menimbulkan kerusakan terumbu karang, namun juga membunuh biota lain yang hidup di ekosistem terumbu karang. Tidak hanya itu, nelayan yang menggunakan kompressor pada saat menyelam untuk pengambilan biota juga sangat terancam. Dengan tidak adanya pengetahuan sistem penyelaman yang baik, banyak sekali nelayan kompresor yang mengalami dekompresi, kelumpuhan dan bahkan kematian. Hal ini terbukti tingginya kematian akibat penyakit dekompresi di daerah ini.
Pengelolaan
Kita punya pekerjaan rumah yang sangat besar. Diperlukan sekarang strategi pengelolaan terumbu karang yang tepat guna dan bijak. Saat ini sudah ada program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang dari pemerintah, yang dikenal COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Project). Tapi ini bukan hanya tugas pemerintah, tapi tugas kita semua. Diharapkan dari kegiatan ini dapat meningkatkan kesadaran dari setiap insan bahari di Indonesia, untuk dapat menjaga warisan nenek moyang yang tak ternilai harganya. Jangan sampai hanya dongeng yang bisa disajikan untuk anak-cucu kita nanti.
0 comments:
Post a Comment